Pages

Selasa, 27 Januari 2009

Pers Mahasiswa dan Pendidikan Hukum

Pers Mahasiswa sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran guna mengaktualisasikan diri dalam merespon permasalahan. Keberadaan pers kampus dalam realita empiris sangat signifikan untuk mensosialisasi alternatif pemikiran-pemikiran terhadap permasalahan-permasalahan yang tengah berlangsung di mahasiswa maupun masyarakat.

Pada dasarnya fungsi pers mahasiswa sama seperti fungsi pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial. Posisi mahasiswa sebagai artikulator antara pemerintah dan masyarakat, menjadikan ia sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh dalam negara yang berkembang.

Pers Kampus atau Pers Mahasiswa harus peka terhadap perubahan kondisi sosial politik yang terjadi di tanah air sekarang ini. Sebelum reformasi, pers mahasiswa dapat tampil sebagai media alternatif. Saat itu pers mahasiswa masih dapat menyajikan berita atau tulisan yang pedas, keras, dan kental dengan idealismenya.

Sayangnya, meski kini sudah ada di era reformasi, industri pers umum Indonesia belum bisa membangun suatu kultur jurnalisme yang baik dan kode etik yang baik. Dibandingkan dengan pers umum, pers kampus akan lebih mudah dalam mengakomodasi nilai-nilai idealis yang sebagian di antaranya tertuang dalam kode etik wartawan Indonesia. Namun demikian, bukan berati bahwa pers kampus bebas dari intervensi. Ada kalanya, pers kampus mendapat intervensi dari pihak rektorat atau pun pihak lainnya.

Intervensi yang demikian amat sulit dihindari karena pengelolaan pers kampus berada dalam lingkungan kampus di mana penghuninya bukan mahasiswa saja. Apalagi, selama ini, pembiayaan pers kampus juga mendapat donasi dari pihak rektorat.

Masalah keterbatasan dana dan manajemen menjadi penyebab kurang berkembangnya pers kampus di negara ini, sebagaimana pernah diungkapkan oleh dosen jurnalistik Fikom Unisba, Septiana Setiawan.

Tidak heran apabila disebutkan bahwa pers adalah pilar keempat dari demokrasi. Jadi beralasan pula, jika kita mengatakan bahwa yang diturunkan oleh pers kampus bukan berita tetapi sikap demokratis.

Kerja pers kampus sama beratnya dengan pergerakan dan aksi lapangan semacam demonstrasi. Apalagi, dengan tuntutan harus menyampaikan informasi sejernih dan seakurat mungkin, pers kampus harus peka dan lebih berani daripada semua elemen pergerakan mahasiswa umumnya. Seperti kata pepatah, mata pena lebih tajam dari mata pedang, mungkin itulah yang menjadi kelebihan pers kampus.

Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (1945­1959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa atau kita kenal dengan sebutan nation building. Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya.

Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.

Tidak dapat disangkal, perjuangan pers kampus pada masa itu menuai sejumlah pujian dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, sejumlah media ternama di luar negeri pun menggunakan pers kampus sebagai narasumber berita. Salah satunya yaitu mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut Pers Kampus sebagai salah satu “pendukung yang tak terduga”.
Di bawah judul “Behind the Scenes” mingguan itu pernah menulis, kini kampus-kampus di Indonesia sudah saling terhubung melalui Internet, yang praktis tidak mudah dikendalikan oleh penguasa. Dengan mudah dan cepat segala macam informasi bisa disebarkan atau di-share bersama-sama. Jaringan informasi, yang dibentuk oleh pers mahasiswa itulah yang merupakan “pendukung tak terduga” dari aksi-aksi unjuk rasa di berbagai kampus Nusantara.

Pers mahasiswa, menjadi apa yang dikatakan oleh Nugroho Notosusanto sebagai community press sebagaimana hidup di negara‑negara yang sudah maju. Pers mahasiswa hanya untuk melayani komunitas mereka saja, yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Fungsi mahasiswa sebagai pelaksana aksi sosio‑kebudayaan ataupun perjuangan politik sebagaimana telah dilakukan oleh para aktivis “Mahasiswa Indonesia” (dalam Raillon,1989) kini hanya tinggal mitos belaka. Betulkah demikian halnya? Bagaimana dengan pers mahasiswa di masa reformasi sekarang ini?

Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan­-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui “Bergerak”, Yogyakarta melalui, “Gugat” ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet

Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.


Analisis saya:

Pers mahasiswa harus mampu mengembangkan kreativitas dan menyajikan berita-berita yang fresh, sehingga dapat menarik minat para pembaca. Dan jangan sampai mematikan pers mahasiswa, karena matinya pers mahasiswa berarti matinya demokrasi di kampus mereka.


Sumber gambar:

www.panmohamadfaiz.com

Read More ..